3.12.2012

Belajar Bahasa Asing dan Menikahi Budayanya

Pagi ini, setelah mengikuti kuliah Cross-Cultural Understanding, yang dosennya langsung dari Amerika, saya tergelitik untuk berpikir lebih jauh tentang esensi dari belajar bahasa.

Banyak orang bilang bahwa kalo pengen belajar bahasa asing, kamu harus mengenal juga tentang budayanya. Tidak ada yang salah sebenarnya pada kalimat tersebut. Akan tetapi, belajar bahasa asing sekaligus menikahi budayanya sama sekali tidak mudah untuk dilakukan. Kenapa? Karena tentu saja budaya  baru tersebut akan mempengaruhi budaya asli kita dan orang-orang di sekitar kita belum tentu akan dapat menerimanya dengan baik. Alih-alih menjadi hebat, hanya cercaan yang akan kita terima.

Contoh langsungnya ada pada pemakaian kata 'hello?'. Dalam percakapan dengan menggunakan bahasa Inggris, kata 'halo' bisa digunakan untuk menunjukkan ketidakpercayaan, keterkejutan, dan lain sebagainya.

A: Yesterday i go to the mosque and i was just wearing tank top and mini skirt.
B: Hello? You must be kidding!

terlihat natural kan? Itu karena kata 'hello?' juga berfungsi seperti 'what?' (coba kata 'hello'nya diganti 'what').

sekarang kita bandingkan dengan percakapan dalam bahasa Indonesia.

A: Lho, jadi tugas yang dimaksud dosennya kayak gitu ya?
B: Iya, dan .. hello? Sebenernya ga bisa seenaknya juga 'kan ngasi tugas.

terlihat seperti percakapan sinetron ya? :)

Dan hal-hal seperti ini lah yang di alami pembelajar bahasa asing. Bagi kami sangat biasa dan sudah terlembaga sebagai percakapan sehari-hari diantara sesama pembelajar bahasa asing. Tetapi bagi orang di luar komunitas pembelajar bahasa asing, pasti akan merasa geli dan berpikir bahwa kami terlihat sok.

Orang terdekat bahkan telah mengingatkan saya karena anggapannya bahwa bahasa saya seperti bahasa sinetron saat saya tidak sengaja memakai bahasa-bahasa informal yang telah terkontaminasi seperti contoh di atas.

Mungkin satu-satunya solusi adalah pembelajar bahasa asing benar-benar harus mawas diri terhadap siapa mereka berbicara dan juga mengontrol lagi ucapan-ucapan atau celutuk-celutuk yang berbau asing. Ini karena saya pikir, kita harus berbenah untuk membuat lawan bicara kita nyaman berbicara dengan kita dan tidak menjadi egois dengan berbahasa semau kita sendiri.





Correct me if I'm wrong. :)

3.10.2012

Sedikit tentang wisuda

Sedikit terinspirasi dari wisuda si tempat kuliah saya hari ini.
Ada sekitar 1400an mahasiswa dan mahasiswi berkumpul di Gedung Cakrawala UM.

Ada pertanyaan yang tiba-tiba menggelitik, kenapa para wisudawati harus tampil seribet itu ya?
Mulai dari make-up tebal yang ga biasa, kerudung penuh jarum pentul atau rambut penuh jepit dan bau hairspray, sandal atau sepatu berhak tinggi, dan banyak lagi keribetan yang lain.

Tradisi darimana sebenernya? Siapa yang mulai?
Kenapa para wisudawan bisa tampil sesantai itu dan para wisudawati rempong banget?

Is it true that it is kind of a value of being a woman? Or this is actually just kind of society's steretyping?

Sedangkan sekitar satu taun yang lalu, saya pernah secara tidak sengaja melihat seorang wisudawati yang berpakaian biasa saja dan memakai make up sehari-sehari dengan cueknya melepas toga dan berlari sehabis acara wisuda selesai. Terlihat berbeda, unik, namun inspiratif bagi saya.

Toh titik berat wisuda sebenarnya bukan pada kebanggaan pada dandanan, akan tetapi pada kebanggaan berhasil menyelesaikan masa kuliah dan skripsi.

Wondering, dibolehin ga ya pake baju simpel sama ibuk saya nanti waktu wisuda? o.O

Correct me, if I'm wrong. :) 

3.06.2012

A bit about my blog name

As you can see, my address is naangniel.blogspot.com

Well, it actually a blend of two words which are jenaang and chenil. What is that? Those which are from Indonesia, especially in Java, maybe know it perfectly. However, for the others outside Indonesia, I’ll try to explain what I have known about those words.

Jenang and chenil is kind of traditional foods in Indonesia, especially Java (or I guess every region has the similar food with different name?). Both of them have sweet favor, and the sweetness is basically come from the gula aren or sugar palm.

chenil

Why I choose that name, then? Well, basically I can say that those are me and my fiancĂ©e favorite traditional foods. Beyond that, there was a time when those foods become our nick name. Confused? So, I called him ‘naang’ from jenang; and he called me ‘niel’ from chenil. Yeah, it was quite weird, perhaps. But when you are in love, that kind of think can be so much fun and romantic. J



So, have you experienced having any nick name that come from food name, everyone? J

Introduction ...

hello, guys ...

I'm an English Pedagogy students and I'm new here :)

Well, let's talk a look what I can learn later :)

Ups, I'm forget to say, I'm from Indonesia. Yes! The country that has the famous Bali inside. :)

C-U later ...